Beranda | Artikel
Cacat Dalam Perjanjian Usaha
Senin, 21 November 2005

CACAT DALAM PERJANJIAN USAHA

Oleh
Prof.Dr.Abdullah al-Muslih
Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu dapat dipaparkan sebagai berikut:

PERTAMA : INTIMIDASI
Yakni mengintimidasi pihak lain untuk melakukan ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman.

Intimidasi itu terbukti dengan hal-hal berikut:
1. Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.
2. Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya.
3. Kalau salah satu dari dua hal ini apalagi kedua-duanya tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, tidak berpengaruh sama sekali.

Intimidasi itu sendiri ada dua macam: Intimidasi fungsional dan non fungsional.

Intimidasi fungsional adalah intimidasi yang dapat merusak kerelaan dan hak pilih. Dalam hal ini, pihak yang diintimidasi menjadi alat di tangan intimidator. Intimidasi ini biasanya dilakukan dengan ancaman bunuh, ancaman membuat cacat anggota tubuh atau pemukulan sadis yang dikhawatirkan membahayakan jiwa, membikin cacat atau melenyapkan seluruh harta.

Adapun intimidasi non fungsional adalah intimidasi yang merusak kerelaan namun tidak merusak hak pilih dan ini bisa dengan ancaman yang lebih rendah dan ancaman yang digunakan di atas seperti ancaman dengan pukulan yang tidak membinasakan jiwa atau anggota badan atau ancaman dengan dilenyapkan sebagian harta.

Adapun apabila gangguan itu ringan dan tidak perlu dipedulikan, maka tidak ada pengaruhnya sama sekali, bahkan tidak dianggap sebaga intimidasi sama sekali. Barometer untuk membedakan antara gangguan yang tidak perlu dipedulikan dengan gangguan yang akan meningkat menjadi intimidasi adalah keputusan hakim. Karena tidak ada batasan yang tidak bisa dikurangi atau dilebihi. Sementara membuat batasan dengan akal jelas tidak mungkin. Maka keputusannya dikembalikan kepada hakim, karena bisa berbeda-beda tergantung pula dengan kondisi manusia. Ada orang yang tidak merasa terancam kecuali bila dipukul dengan keras atau dipenjara dalam waktu lama. Namun ada yang merasa terancam hanya dengan gertakan.

Para ahli fiqih telah bersepakat bahwa berbagai kegiatan finansial yang didasari oleh suka sama suka, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah bila dilakukan di bawah intimidasi. Namun apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya intimidasi atau tidak? Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebelumnya diintimidasi, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Ada perbedaan pendapat di kalangan alim ulama. Mayoritas ulama melarangnya, sementara Abu Hanifah membolehkannya.

KEDUA : KEKELIRUAN.
Cacat ini berkaitan dengan objek perjanjian usaha tertentu. Yakni dengan menggambarkan objek perjanjian dengan satu gambaran tertentu, ternyata yang tampak berkebalikan. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata dibuat dari kaca. Atau orang yang membeli pakaian dari sutera, ternyata hanya dibuat dari katun.

Tidak diragukan lagi bahwa kekeliruan semacam ini tentu saja akan mempengaruhi keridhaan, karena faktor perbedaan antara kenyataan dengan hal yang diperkirakan sebelumnya yang seharusnya disenanginya. Bahkan bisa jadi urusannya akan berkembang sehingga perjanjian usaha menjadi gagal total karena objek perjanjian yang hilang. Seperti dua orang yang melakukan perjanjian dalam jual beli emas, ternyata pembeli mendapatkan barang beliannya hanya berupa tembaga. Karena objek perjanjian, yakni emas, tidak ada, maka perjanjian jual beli tersebut gagal karena objek hilang dari perjanjian.

Kekeliruan itu sendiri ada dua macam:

1. Kekeliruan yang berkonsekuensi batalnya perjanjian yang dilakukan, yakni yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis objek perjanjian, atau perbedaan menyolok pada fasilitas yang menjadi objek, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada perjanjian jual beli daging.

2. Kekeliruan yang bukan pada perbedaan jenis atau perbedaan fasilitas yang menyolok, seperti orang yang membeli hewan jantan, ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Kekeliruan ini tidaklah membatalkan perjanjian tersebut, akan tetapi pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya.

KETIGA : GHUBN (PENYAMARAN HARGA BARANG)
Ghubn secara bahasa artinya adalah pengurangan. Dalam terminologi ilmu fiqih, artinya adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau barter antara dua alat kompensasi dianggap tidak adil karena tidak sama antara yang diberi dengan yang diterima. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh juta padahal hartanya hanya delapan juta. Dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barang. Sementara dari pihak yang menjadi korban penyamaran harga barang, memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga sesungguhnya barang tersebut.

Penyamaran harga barang itu sendiri menurut kalangan ahli fiqih ada dua macam : Penyamaran berat dan penyamaran ringan.

Penyamaran Ringan : Yakni penyamaran pada harga barang yang tidak sampai mengeluarkannya dari harga pasaran, yakni harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan. Kegiatan pasar hampir tidak bisa diselamatkan dari jenis penyamaran harga ringan semacam ini. Dalam semua jenis perjanjian usaha, penyamaran harga barang semacam itu dapat dimaklumi, tidak ada pengaruh apa-apa.

Penyamaran Berat Yakni yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Penyamaran harga barang semacam ini tentu saja membatalkan perjanjian yang subjeknya adalah sebagai harta waqaf atau harta orang yang dicekal, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta-harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut.

Adapun dalam perjanjian-perjanjian usaha lain, masih diperselisihkan pengaruh penyamaran berat ini terhadapnya. Ada tiga pendapat yang popular :

1. Penyamaran harga semacam itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, demi menjaga kepentingan berlangsungnya perjanjian usaha yang dilakukan dan menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu tidak lepas dari sikap teledor dan terburu-buru. Untuk itu ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu.

2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga barang itu berhak membatalkan perjanjian, untuk melepaskan sikap semena-mena terhadap dirinya.

3. Penyamaran harga barang ini bisa dimasukkan hitungan bila tujuannya adalah penipuan dari satu pihak, pihak yang menjadi korban berhak membatalkannya. Kalau tidak dengan niat menipu pembeli, maka tidak ada pengaruh apa-apa. Kemungkinan inilah pendapat yang paling pas dari semua pendapat di atas. Wallahu A’lam.

Barometer pembedaan antaran penyamaran ringan dengan berat adalah kebiasaan. Karena tidak ada batasan paten dalam persoalan ini. Adapun berbagai riwayat tentang perkiraan batasan penyamaran harga yang diambil dari sebagian ahli fiqih tidak dianggap sebagai ajaran syariat yang permanen. Namun semua itu didasari oleh kebiasaan yang tersebar pada masing-masing zaman mereka.

[Disalin dari buku Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta hal.52-56]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1671-cacat-dalam-perjanjian-usaha.html